Tottenham Akhiri Puasa Gelar 17 Tahun, Kalahkan Manchester United di Final Liga Europa

4 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Gol semata wayang dicetak Brennan Johnson menjelang turun minum. Meski terkesan ‘kotor’ dan sempat dianggap sebagai gol bunuh diri Luke Shaw, para pemain dan pelatih Tottenham tak ambil pusing. Kemenangan ini adalah penebusan panjang bagi klub yang selama 17 tahun terakhir selalu gagal di momen-momen krusial.

Dalam laga yang minim kualitas, baik dari sisi serangan maupun penyelesaian akhir, Spurs tampil lebih pragmatis dari biasanya. Gaya bermain menyerang "Angeball" yang biasa diterapkan manajer Ange Postecoglou tidak terlihat di sini. Sebaliknya, Tottenham lebih banyak bertahan dalam dan rela kehilangan penguasaan bola demi menjaga keunggulan tipis.

Pelatih asal Australia, yang sempat diragukan, sebelumnya menyatakan bahwa ia “selalu memenangkan sesuatu di musim keduanya.” Pernyataan itu kini terbukti. Sebelumnya ia sukses membawa Celtic menjuarai treble domestik di Skotlandia, mempersembahkan gelar liga untuk Yokohama F. Marinos di Jepang setelah 15 tahun, dan menjuarai Piala Asia 2015 bersama Australia.

Namun, membawa Tottenham—klub yang terkenal dengan kutukan kegagalan di berbagai kompetisi—meraih trofi adalah pencapaian tersendiri. Terlebih setelah musim domestik yang buruk, di mana Spurs mencatatkan 21 kekalahan di Liga Primer Inggris.

Kini, Postecoglou tinggal menanti apakah keberhasilannya ini cukup untuk mempertahankan posisinya di tengah keraguan internal manajemen klub.

Malam Penuh Luka bagi Manchester United

Bagi Manchester United, kekalahan ini menjadi penutup tragis musim yang penuh kegagalan. Kegagalan meraih trofi, kehilangan tiket ke kompetisi Eropa musim depan, dan posisi klasemen yang berada di papan bawah—semuanya menjadi catatan kelam yang sulit dihapus.

Gol penyeimbang nyaris tercipta lewat sundulan Rasmus Højlund di babak kedua, namun bek Tottenham, Micky van de Ven, melakukan penyelamatan akrobatik di garis gawang. Peluang Luke Shaw di masa injury time pun digagalkan kiper Guglielmo Vicario secara brilian.

Pelatih Ruben Amorim kini menghadapi tekanan besar. Sejak ditunjuk pada November, Amorim hanya meraih enam kemenangan di Liga Primer. Meski manajemen klub dikabarkan masih memberinya kesempatan, performa buruk ini menjadi peringatan keras menjelang musim depan.
Kisah Penebusan Brennan Johnson dan Son Heung-Min

Gol penentu Brennan Johnson di menit ke-42 akan dikenang dalam sejarah Spurs. Setelah sempat jadi sasaran kritik tajam dan bahkan menonaktifkan akun Instagram pribadinya karena hujatan, Johnson bangkit dan menjadi pahlawan.

Sementara itu, kapten tim Son Heung-Min akhirnya mencicipi gelar bersama Spurs setelah lebih dari satu dekade setia membela klub. Meskipun hanya bermain 23 menit dari bangku cadangan, Son merayakan kemenangan dengan penuh emosi sambil membawa bendera Korea Selatan.

Selain trofi, kemenangan ini juga memastikan satu tiket ke Liga Champions musim depan untuk Tottenham. Tambahan pemasukan sekitar £100 juta diperkirakan akan memperkuat skuad yang musim ini tampak tipis secara kualitas.

Sebaliknya, Masa Depan Suram Højlund dan United

Striker muda Rasmus Højlund kembali tampil tidak efektif dan digantikan tak lama setelah gagal mencetak gol. Dibeli hampir £70 juta dari Atalanta, masa depannya kini digantung. United disebut-sebut akan mencari penyerang baru di bursa transfer musim panas, dan Højlund mungkin dipinjamkan untuk mengembalikan kepercayaan dirinya di klub lain.

Spurs kini merayakan kemenangan historis, sementara United didera pertanyaan besar soal masa depan mereka. Dari kutukan panjang hingga euforia juara, Tottenham menunjukkan bahwa keajaiban bisa datang dalam bentuk paling tidak terduga – termasuk dari gol ‘kotor’ Brennan Johnson.

Kini, mata dunia sepak bola beralih ke musim depan: apakah Tottenham bisa mempertahankan momentum? Dan apakah Manchester United bisa bangkit dari keterpurukan terburuk mereka sejak dekade 1970-an?

Read Entire Article