ARTICLE AD BOX
Penulis
Dr. Ni Wayan Widhiasthini, S.Sos., M.Si.
Akademisi Undiknas University
Berbagai isu yang berkembang dan peristiwa berskala nasional yang terjadi, membuat topik terkait penghapusan presidential threshold sedikit terlupakan.
Sebagian kalangan beranggapan Pemilihan Presiden (Pilpres) masih lima tahun lagi, masih cukup banyak waktu untuk mempersiapkan diri, atau beranggapan “tabu” untuk membahas Pilpres, karena presiden dan wakil presiden Indonesia baru saja terpilih, dan berbagai asumsi lainnya.
Tetapi mungkin sudah menjadi kebiasaan “kita” di Indonesia, baru memikirkan calon presiden, wakil presiden terlebih koalisi pengusung “harus” pada detik-detik terakhir masa pencalonan. Maka pencalonan itu akan selalu dipenuhi dramaturgi politik yang dipertontonkan dengan nyata kepada masyarakat dunia.
Sesungguhnya waktu lima tahun ke depan, momen Pilpres akan tiba dalam waktu yang tidak lama lagi, ia akan tenggelam dengan berbagai agenda. Terlebih dengan penghapusan presidential threshold pada Pilpres tahun 2029 nanti.
Catatan kecil ini bermaksud mengajak segenap khalayak pembaca untuk mencermati dengan kritis apa, bagaimana dan mengapa presidential threshold tidak berlaku lagi. Juga dalam rangka memberikan catatan, bahwa politik bukan hanya milik para politikus, politik bukanlah hal yang tabu untuk dibahas oleh khalayak masyarakat luas.
Jika diibaratkan “politik” adalah cuaca, tentu kita tidak bisa mengubah cuaca, tetapi kita wajib mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca, bersiap menghadapi perubahan musim yang akan yang nantinya akan tiba.
Kata “kita” yang penulis gunakan merujuk kesiapan segenap elemen menghadapi penghapusan presidential threshold, dari partai politik, pemerintah, masyarakat (dari berbagai generasi), akademisi, media massa, dan stakeholder lainnya.
Gugatan terhadap presidential threshold ini telah banyak dilakukan sebelumnya, dan selalu kandas. Tercatat sudah berlangsung 30 kali di MK (Mahkamah Konstitusi) pengujian terhadap presidential threshold.
Berbagai asumsi muncul mengapa akhirnya gugatan kali ini dikabulkan, seperti adanya asumsi jika MK ingin membangun citra positifnya sebagai lembaga penegak hukum yang sempat merosot di hadapan publik.
Sebelum dihapuskan, presidential threshold diberlakukan sebagai syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau mencalonkan presiden dan wakil presiden. Pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Mulai diberlakukan sejak Pemilu 2004, saat itu ambang batas yang ditetapkan adalah 15% kursi DPR RI atau memperoleh 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Ambang batas perolehan suara tersebut harus diperoleh oleh partai politik dalam pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.
Realitas yang terjadi, sejak diterapkan pada Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019, hanya dua partai politik yang lolos memenuhi. Presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang perumusannya merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan tersebut.
Ketentuan ambang batas tersebut menyulitkan partai kecil untuk mewujudkan aspirasi secara langsung dalam pemilihan presiden meskipun mempunyai kader yang berkualitas. Secara struktural ambang batas pencalonan juga menyebabkan eksklusivitas presiden itu sendiri.
Presidential threshold yang berlaku selama ini dipandang membatasi ruang gerak demokrasi karena bertentang dengan UUD 1945, selain itu ambang batas yang selama ini diberlakukan tidak juga menyederhanakan jumlah partai politik yang ada.
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold atau ambang batas minimal pencalonan yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasca Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keputusan MK menghapus ambang batas tampaknya membawa implikasi besar, secara normatif partai kecil dapat mencalonkan kandidatnya tanpa harus bergabung dengan partai besar. Potensi kendala yang dihadapi juga tak kalah rumit, partai kecil akan kesulitan mencalonkan sendiri terutama dari sisi biaya politik yang sangat besar, terlebih untuk skala Pilpres. Ini adalah babak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia, kekhawatiran berbagai pihak akan munculnya kandidat calon presiden yang tidak berkualitas.
Jika ditelusuri secara histori, pemberlakuan presidential threshold berawal dari keinginan untuk menyederhanakan pencalonan presiden, harapannya dengan pembatasan tersebut hanya calon-calon yang memiliki dukungan signifikan yang dapat berkontestasi.
Menghindari konsep pemecahan suara, tetapi semakin lama menuai berbagai kritik karena menguntungkan partai-partai besar saja. Memunculkan politik transaksional yang muncul dari proses koalisi yang dilakukan partai. Realitasnya koalisi terbentuk bukan atas dasar kesamaan ideologi, tetapi kepentingan pragmatisme politik untuk meraih kekuasaan.
Kini setelah presidential threshold dihapuskan, keputusan ini akan mengubah dinamika Pemilu di Indonesia, dan berbagai implikasi yang muncul dari sisi biaya, peta koalisi dan stabilitas pemerintahan. Potensi munculnya banyak calon pasangan presiden dan wakil presiden, masyarakat juga semakin sulit dan rumit memahami agenda dari masing-masing calon.
Skill politik para kandidat sangat diperlukan untuk meyakinkan calon pemilih dengan persaingan yang semakin kompetitif. Partai politik juga akan menjadi lebih berfokus untuk mengembangkan kader partai mereka sendiri, berupaya mencari figur yang paling baik preferensinya, paling disukai publik.
Tidak lagi harus mengejar koalisi, sehingga memberikan momentum bagi partai politik untuk menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi yang inklusif. Situasi tersebut harus diimbangi dengan peningkatan literasi politik masyarakat, masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas. Pada poin inilah keterlibatan semua stakeholder sangat diperlukan, sehingga kesiapan masyarakat untuk menghadapi dampak penghapusan presidential threshold semakin kuat.
*) Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warganet. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Dr. Ni Wayan Widhiasthini, S.Sos., M.Si.
Akademisi Undiknas University
Berbagai isu yang berkembang dan peristiwa berskala nasional yang terjadi, membuat topik terkait penghapusan presidential threshold sedikit terlupakan.
Sebagian kalangan beranggapan Pemilihan Presiden (Pilpres) masih lima tahun lagi, masih cukup banyak waktu untuk mempersiapkan diri, atau beranggapan “tabu” untuk membahas Pilpres, karena presiden dan wakil presiden Indonesia baru saja terpilih, dan berbagai asumsi lainnya.
Tetapi mungkin sudah menjadi kebiasaan “kita” di Indonesia, baru memikirkan calon presiden, wakil presiden terlebih koalisi pengusung “harus” pada detik-detik terakhir masa pencalonan. Maka pencalonan itu akan selalu dipenuhi dramaturgi politik yang dipertontonkan dengan nyata kepada masyarakat dunia.
Sesungguhnya waktu lima tahun ke depan, momen Pilpres akan tiba dalam waktu yang tidak lama lagi, ia akan tenggelam dengan berbagai agenda. Terlebih dengan penghapusan presidential threshold pada Pilpres tahun 2029 nanti.
Catatan kecil ini bermaksud mengajak segenap khalayak pembaca untuk mencermati dengan kritis apa, bagaimana dan mengapa presidential threshold tidak berlaku lagi. Juga dalam rangka memberikan catatan, bahwa politik bukan hanya milik para politikus, politik bukanlah hal yang tabu untuk dibahas oleh khalayak masyarakat luas.
Jika diibaratkan “politik” adalah cuaca, tentu kita tidak bisa mengubah cuaca, tetapi kita wajib mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca, bersiap menghadapi perubahan musim yang akan yang nantinya akan tiba.
Kata “kita” yang penulis gunakan merujuk kesiapan segenap elemen menghadapi penghapusan presidential threshold, dari partai politik, pemerintah, masyarakat (dari berbagai generasi), akademisi, media massa, dan stakeholder lainnya.
Gugatan terhadap presidential threshold ini telah banyak dilakukan sebelumnya, dan selalu kandas. Tercatat sudah berlangsung 30 kali di MK (Mahkamah Konstitusi) pengujian terhadap presidential threshold.
Berbagai asumsi muncul mengapa akhirnya gugatan kali ini dikabulkan, seperti adanya asumsi jika MK ingin membangun citra positifnya sebagai lembaga penegak hukum yang sempat merosot di hadapan publik.
Sebelum dihapuskan, presidential threshold diberlakukan sebagai syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau mencalonkan presiden dan wakil presiden. Pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Mulai diberlakukan sejak Pemilu 2004, saat itu ambang batas yang ditetapkan adalah 15% kursi DPR RI atau memperoleh 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Ambang batas perolehan suara tersebut harus diperoleh oleh partai politik dalam pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.
Realitas yang terjadi, sejak diterapkan pada Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019, hanya dua partai politik yang lolos memenuhi. Presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang perumusannya merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan tersebut.
Ketentuan ambang batas tersebut menyulitkan partai kecil untuk mewujudkan aspirasi secara langsung dalam pemilihan presiden meskipun mempunyai kader yang berkualitas. Secara struktural ambang batas pencalonan juga menyebabkan eksklusivitas presiden itu sendiri.
Presidential threshold yang berlaku selama ini dipandang membatasi ruang gerak demokrasi karena bertentang dengan UUD 1945, selain itu ambang batas yang selama ini diberlakukan tidak juga menyederhanakan jumlah partai politik yang ada.
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold atau ambang batas minimal pencalonan yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasca Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keputusan MK menghapus ambang batas tampaknya membawa implikasi besar, secara normatif partai kecil dapat mencalonkan kandidatnya tanpa harus bergabung dengan partai besar. Potensi kendala yang dihadapi juga tak kalah rumit, partai kecil akan kesulitan mencalonkan sendiri terutama dari sisi biaya politik yang sangat besar, terlebih untuk skala Pilpres. Ini adalah babak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia, kekhawatiran berbagai pihak akan munculnya kandidat calon presiden yang tidak berkualitas.
Jika ditelusuri secara histori, pemberlakuan presidential threshold berawal dari keinginan untuk menyederhanakan pencalonan presiden, harapannya dengan pembatasan tersebut hanya calon-calon yang memiliki dukungan signifikan yang dapat berkontestasi.
Menghindari konsep pemecahan suara, tetapi semakin lama menuai berbagai kritik karena menguntungkan partai-partai besar saja. Memunculkan politik transaksional yang muncul dari proses koalisi yang dilakukan partai. Realitasnya koalisi terbentuk bukan atas dasar kesamaan ideologi, tetapi kepentingan pragmatisme politik untuk meraih kekuasaan.
Kini setelah presidential threshold dihapuskan, keputusan ini akan mengubah dinamika Pemilu di Indonesia, dan berbagai implikasi yang muncul dari sisi biaya, peta koalisi dan stabilitas pemerintahan. Potensi munculnya banyak calon pasangan presiden dan wakil presiden, masyarakat juga semakin sulit dan rumit memahami agenda dari masing-masing calon.
Skill politik para kandidat sangat diperlukan untuk meyakinkan calon pemilih dengan persaingan yang semakin kompetitif. Partai politik juga akan menjadi lebih berfokus untuk mengembangkan kader partai mereka sendiri, berupaya mencari figur yang paling baik preferensinya, paling disukai publik.
Tidak lagi harus mengejar koalisi, sehingga memberikan momentum bagi partai politik untuk menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi yang inklusif. Situasi tersebut harus diimbangi dengan peningkatan literasi politik masyarakat, masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas. Pada poin inilah keterlibatan semua stakeholder sangat diperlukan, sehingga kesiapan masyarakat untuk menghadapi dampak penghapusan presidential threshold semakin kuat.
*) Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warganet. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.